Bung Hatta, Kejujuran, dan Sepatu Bally yang tak Terbeli

Penulis : Anies R. Handini

Ditayangkan sebelumnya di esq-news.com

Bung Hatta terkenal dengan sikapnya yang selalu jujur, santun, dan hemat, selain pandai serta memiliki keberanian dalam diplomasi yang sudah terbuktikan dalam sejarah perjuangan bangsa menuju gerbang kemerdekaan. Meutia Farida Hatta Swasono, putri sulung Bung Hatta menulis di Harian Kompas (9/8/2002): “Keluargaku bukan keluarga yang mengejar kemewahan hidup. Bukan hanya ayahku saja yang berprinsip demikian, namun juga ibuku, Ibu Rahmi Hatta. ‘Kita sdh cukup hidup begini, yg kita miliki hanya nama baik, itu yang harus kita jaga terus,’ kenang Meutia Hatta sambil menirukan kata-kata sang Ayah kepada ibunya.”Keberanian Bung Hatta dan Bung Karno membubuhkan tanda tangan pada naskah Proklamasi adalah risiko besar buat mereka berdua. Mereka bisa saja dituduh sebagai pemimpin pemberontakan, makar, penggulingan kekuasaan, bahkan kemungkinan sebagai tertuduh penjahat perang, oleh para penjajah.

Jepang yang sudah takluk dalam Perang Pasifik dan Perang Dunia II saja masih memperlihatkan minatnya menjajah Indonesia, apalagi dengan bangsa sekutu yang merasa di atas angin karena kemenangannya terhadap Jepang. Dan saat itu secara terang-terangan beberapa tokoh pergerakan yang menolak membubuhkan tanda tangan mereka (saat proklamasi akan diucapkan) atas alasan yang sama. Namun kedua Proklamator tersebut justru dengan gagah berani menanggung resiko besar itu, demi memberitakan Kedaulatan Indonesia.

Sikap santun Bung Hatta tak mengurangi keberaniannya memilah antara yang haq/benar dan yang salah. Saat mundur dari jabatan Wakil Presiden RI pada 1 Desember 1956, ia dengan elegan serta santun menyampaikannya kepada pemerintah. Ia merasa Bung Karno telah berlakucontradictio in terminis (di satu sisi ingin mewujudkan demokrasi, sedangkan di sisi lain duduk di atas demokrasi).

Sikapnya masih sama, tegas dalam bersikap namun tetap santun dalam mengemukakan argumentasinya. Sebelum mundur, ia sempat berkali-kali memberi masukan kepada sahabatnya itu, namun ketika Bung Karno tetap berjalan sesuai dengan konsepsinya sendiri, maka kemudian Bung Hatta dengan tegas undur diri.

Kejujuran Bung Hatta tidak diragukan. Bukan hanya jujur, tetapi juga menurut Jacob Oetama (Pemimpin Umum harian Kompas), Bung Hatta adalah jenis manusia yang uncorruptable, tidak bisa korupsi. Kejujuran hatinya membuat dia tak rela untuk sedikit saja menyimpang, sekedar menodainya dengan tindak korupsi.

Kalau saja ia mau melakukan korupsi, mungkin bukan hanya sepatu merek Bally yang mampu dibelinya, namun saham di pabrik sepatu tersebut bisa dibelinya. Dan setiap hari bisa dipastikan ia akan berganti-ganti sepatu baru. Namun, ia tak melakukan semua itu. Ia hanya menyelipkan potongan iklan sepatu merek Bally yang tidak mampu dibelinya hingga akhir hayatnya. Bahkan untuk membayar listrik rumahnya pun ia hanya mengandalkan uang pensiun sebagai Wakil Presiden. Berkali-kali ia menasehati keluarganya, untuk tidak mengambil selain yang menjadi haknya.

Hingga akhir hidupnya potongan iklan Sepatu Merek Bally tetap ia simpan sebagai kenang-kenangan bahwa nilai-nilai Kejujuran selalu mampu mengalahkan ego pribadinya sebagai manusia biasa. Bung Hatta adalah cermin seorang tokoh yang lurus dan bersih serta memiliki nama baik yang senantiasa terus dijaganya.

About windmill

Seorang hamba Allah SWT yang terus berusaha bersemangat dalam menjalani hidup. Suami yang berusaha untuk setia dan bertanggungjawab. Ayah yang berusaha menyayangi dan menjadi teladan.
This entry was posted in Berbagi, Keteladanan, Repost, Suara Alumni ESQ, Teropong Negeri Emas. Bookmark the permalink.

Leave a comment